Dalam artikel ini, saya memberikan penilaian subjektif saya dengan memandang secara objektif perihal 3 genre foto ini dan setelah menimbang juga kalau perdebatan ini akan menarik untuk dibicarakan terutama di kalangan fotografer. Yaitu batas antara genre diatas,yaitu foto porn, boudouir, dan gravure ini beda tipis bahkan tidak bisa ditentukan batasnya. Membicarakan tentang hal ini, bisa saja berkaitan langsung dengan etika, social, budaya, maupun agama.Dalam hal ini, saya akan berargumen dari sisi saya seorang fotografer, dan membahas dari segi visualnya.
Disclaimer : Saya tidak memasukkan unsur etika dan nilai-nilai agama dalam argument ini (mana yang benar dan mana yang salah), dan juga tidak melihat dari sisi hukumnya, karena hukum di tiap negara dan daerah pasti berbeda-beda, selain hukum negara pun juga masih ada hukum adat yang harus dilalui, jadi saya tidak meninjau dari sisi hukum. Selain itu, fotografi sebagai barang seni, memiliki nilai subjektifitas yang tinggi karena bersifat sangat personal, dan setiap orang bisa memiliki definisi dan batasan masing-masing.
1. Foto Porn
Mungkin asosiasi yang ada di masyarakat jika mendengar ini lebih kepada visual yang berbau seksual. Sedangkan jika kita telusuri lebih jauh lagi, porn ini tidak selalu harus berhubungan dengan seksual, tetapi hal yang bisa membangkitkan gairah indra yang kita miliki, bisa itu visual, pendengaran, penciuman, dll.. Kegiatan menstimulus secara berlebihan ini bisa dianggap sebagai 'porn', makanya kita juga sering mendengar istilah seperti 'food porn' juga karena itu juga mengstimulus indra kita berlebihan melalui visual foto makanan.
Meskipun setiap orang bisa memiliki definisi berbeda, tetapi secara umum, foto yang memperlihatkan nudity, alat kelamin, atau kegiatan seksual bisa tergolong ke dalam foto porn ini sendiri.
Secara subjek, foto porn ini ditujukan kepada market atau yabg bisa dibilang sebagai khalayak banyak. Subjek yang kita foto, dalam hal ini bisa saja menjadi "object" yaitu sesuatu yang bisa kita atur sesuai keiinginan. Dalam hal ini, si model hampir tidak memiliki kontrol terhadap hasil akhir yang dibuat, karena foto dibuat berdasarkan keinginan market melalui producer foto / fotografer. Sehingga hasil akhir dari foto tersebut bisa disukai oleh masyarakat yang menyaksikan.
Yang paling ditonjolkan dalam foto porn ini adalah konten visual yang kuat, sehingga tidak diperlukan konteks yang terlalu kuat dalam foto.
Contoh konkrit misalkan saya diberikan sebuah assignment untuk membuat foto porn, berarti secara mindset, saya harus menempatkan diri saya sebagai penikmat foto tersebut secara harafiah. Bukan dari sudut pandang model, maupun dari sudut pandang kita sendiri sebagai fotografer (meskipun style pasti akan masuk ke dalam foto tersebut).
2. Foto Boudouir
Genre foto ini tidak terlalu dikenal di masyarakat indonesia, tetapi di budaya barat, secara umum foto boudouir ini berasal dari bahasa perancis dan dikenal dengan foto yang memperlihatkan kegiatan manusia, khususnya wanita yang sedang berada di ruang privat nya. Bisa berada di kamar tidurnya, kamar mandi, ataupun tempat wardrobe dll. Secara visual foto boudouir ini tidak memiliki batasan, bisa memperlihatkan kelamin, lekuk tubuh, atau apapun sesuai dengan konsep atau yang diinginkan oleh model tersebut.
Secara subjek, foto boudouir ini jauh lebih personal dibandingkan foto porn maupun gravure, karena dalam hal ini hanyalah ada fotografer dan model/subjek foto tersebut. Proses pembuatan foto boudouir ini, melibatkan ide dari sang fotografer dan sang model yang difoto, meliputi seperti apa mereka mau difoto? apa konsep/style yang diinginkan oleh sang model, yang disatukan juga dengan style yang dimiliki oleh fotografer tersebut.
Secara tujuan, foto boudouir ini bisa saja menjadi sangat personal. Menurut beberapa cerita, bahkan ada yang menghadiahkan foto boudouir diri dia (cewe) kepada pasangannya (cowo). Atau ada juga yang membuat foto boudouir dengan alasan dokumentasi juga. Suatu saat kita akan beranjak tua, dan foto boudouir ini sebagai dokumentasi pribadi kita kalau kita juga pernah muda, pernah memiliki badan yang bagus, dst.
Dalam beberapa hal, foto boudouir ini juga bisa dimanfaatkan untuk sang model mengembalikan kepercayaan diri mereka sendiri, lebih menghargai diri mereka, sehingga memiliki tujuan yang sangat positif untuk sang model tersebut.
Nilai yang paling ditonjolkan pada foto boudouir ini adalah konteks dari foto tersebut, bukan hanya konten, angle, ataupun sang modelnya sendiri.
Contohnya, jika saya diberikan pekerjaan untuk memotret boudouir, hal pertama yang saya lakukan adalah berkomunikasi heart to heart dengan model tersebut. Kenapa mereka mau foto boudouir, dan tujuan mereka foto ini untuk apa, dsb, sehingga saya bisa mendapatkankan sudut pandang dari orang kedua / model foto tersebut.
3.Foto Gravure
Genre ini bisa terbilang cukup baru di masyarakat indonesia. Tetapi budaya ini bisa dibilang berasal dari jepang (グラビアアイドル), salah satu budaya pop culture biasanya lebih me refer ke seorang idol. Secara visual, pada umumnya foto gravure ini tidak memperlihatkan nudity atau area yang sensitif dari sang model, tetapi lebih bermain dengan jenis pakaian, tatapan mata, angle foto, dan juga pose-pose yang dimainkan lebih ke provokatif untuk membuat audience (khususnya pria) berimajinasi terhadap modelnya, tanpa harus memperlihatkan keseksian model tersebut. Secara subjek, dalam foto gravure, sang model memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun mood pemotretan untuk hasil akhir, dalam konsep pun, sang modelpun dilibatkan dalam membuat konsep pemotretan. Tujuan akhir dalam pemotretan gravure ini, biasanya ditujukan untuk kebutuhan komersial, ataupun meningkatkan ketenaran seorang model, jadi model tersebut benar-benar menjadi subjek utama dalam foto tersebut dan menjadi "idol" dalam frame foto tersebut, sehingga konteks foto hanya sebagai elemen pendukung saja. Contohnya, jika saya diberikan assignment untuk memotret gravure, maka selain saya akan mendiskusikan konsep dengan model tersebut, juga berpikir untuk bagaimana mempromosikan model tersebut sehingga disukai oleh masyarakat.
Di sisi lain, definisi diatas tidaklah baku dan memiliki tumpang tindih di dalamnya. Contohnya foto boudoir itu bisa juga berupa foto porn, dan foto gravure bisa juga foto bpuouir dan sebaliknya, tergantung dari beberapa faktor yang saya akan bahas juga dibawah. Selain itu ada 1 hal lagi yang tidak bisa luput yaitu tempat dimana kita mendistribusikan foto tersebut memiliki peranan yang sangat penting. Sebuah foto yang sama jika dipasang di dalam museum, dibuat buku foto, atau disebarkan melalui media sosial menentukan sebuah "nilai" dari foto tersebut. Foto yang sangat biasapun jika dimasukkan ke dalam museum seni akan meningkatkan nilai dari foto tersebut, dan begitu juga sebaliknya. Hal itu disebabkan karena faktor market atau penikmat foto sangat berpengaruh dalam definisi foto tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhinya :
1. Faktor Budaya dan Industri
Perbedaan budaya menyebabkan perbedaan definisi. Contoh extrem-nya, di suku-suku pedalaman, nudity bukanlah hal yang tabu, dan mereka menghargai tubuhnya sebagai "canvas" yang bisa dijadikan "object seni". Dari segi industri, dimana ada nilai ekonomi dari sebuah karya, maka market juga akan terbentuk dengan sendirinya baik secara persepsi dan definisi.
2. Faktor Geografis
Dibudaya barat, nudity tidak setabu budaya ketimuran yang lebih sopan dalam memandang tubuh kita. Bahkan di negara jepang pun, yang masyarakatnya dengan budaya ketimuran, meskipun masih abu-abu, tetapi masyarakat disana sudah lebih terbiasa disajikan foto-foto seksi bahkan dijual secara umum di tempat umum, setidaknya untuk cover majalah mereka. Sedanngkan di negara lain seperti di Indonesia, hal tersebut dilarang dan juga tabu, melanggar nilai-nilai kesopanan yang ada di masyarakat.
3. Faktor Agama / Nilai masyarakat Hampir semua agama mayoritas di dunia ini tidak menghalalkan nudity. Biasanya di negara atau kelompok masyarakat yang memiliki nilai keagamaan yang kuat akan mendefinisikan ke 3 foto ini merupakan foto yang "tidak baik" untuk dikonsumsi, sehingga stigma yang terbentuk di masyarakatpun mengikuti nilai-nilai dari kelompok ini juga. Di lain sisi di kelompok masyarakat yang terbilang lebih liberal, mereka memperbolehkan foto nudity tersebut hingga batas tertentu sesuai dengan nilai yang berlaku disana.
4. Faktor media
Dimana kita meletakkan sebuah karya kita, pasti akan memiliki penilaian yang berbeda. Media dimana kalian mengupload sebuah foto misalkan instagram, facebook, atau web-web seperti 1X.com akan sangat mempengaruhi nilai dari sebuah karya kalian dan juga penilaian masyarakat. Jadi tujuan foto kita juga harus sinkron dengan dimana kita akan mengshare karya kita tersebut.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah sebagai fotografer, kita harus pintar untuk menempatkan sebuah karya kita, dan juga memotret sesuai dengan tujuan yang diinginkan tanpa harus terpaku dengan salah satu genre tertentu.
Jika memang nurani kalian melarang untuk memotret atau difoto dengan genre atau style tertentu juga tidak bisa dipaksakan, jadi memotretlah atau dipotret senyaman mungkin karena tidak ada paksaan disini. Tentunya juga harus sesuai menimbang dengan profesi jika kita sebagai professional kita harus mengikuti kemauan klien atau yang membayar project tersebut, kecuali project tersebut dilakukan secara kolaborasi.
Dan sebagai pelaku seni, kita pastinya memiliki penilaian masing-masing juga, tetapi kemampuan kita untuk bisa menilai secara objektif sangat diperlukan untuk menilai sebuah foto juga. Salam potret dan cheers ^^
Comentarios